Jumat, 17 April 2020

Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955

Kabid Dikdas
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif. Bebas maksudnya tidak terikat pada Blok tertentu, sedangkan aktif berarti selalu ikut serta dalam upaya perdamaian dunia. Konsep bebas aktif lahir ketika dunia tengah berada dalam pengaruh dua Blok utama setelah selesainya Perang Dunia ke II, yaitu Blok Amerika Serikat dan Blok Uni Soviet. Indonesia juga menjadi pelopor atau pendiri organisasi-organisasi antar bangsa seperti Gerakan Non Blok, ASEAN dan Konferensi Asia Afrika.

Sejak tahun 1945, banyak di daerah Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung selatan Afrika. Beberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan.

Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya. Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.

Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo mengadakan Konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.

Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah 25 negara, yaitu: Afganistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muangthai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman. Waktu Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1995.
Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia adalah bebas aktif Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955
Pada tanggal 18 April 1955 Konferensi Asia Afrika dilangsungkan di Gedung Merdeka Bandung. Konferensi dimulai pada jam 09.00 WIB dengan pidato pembukaan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Sidangsidang selanjutnya dipimpin oleh Ketua Konferensi Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo.

Konferensi Asia Afrika di Bandung melahirkan suatu kesepakatan bersama yang merupakan pokok-pokok tindakan dalam usaha menciptakan perdamaian dunia. Ada sepuluh pokok yang dicetuskan dalam konferensi tersebut, maka itu disebut Dasasila Bandung. Isi Dasasila Bandung antara lain :
  1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan, serta asas-asas kemanusian yang termuat dalam piagam PBB.
  2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
  3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil.
  4. Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara lain.
  5. Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB.
  6. Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain.
  7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain.
  8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai seperti perundingan, persetujuan, dan lain-lain yang sesuai dengan piagam PBB.
  9. Memajukan kerjasama untuk kepentingan bersama.
  10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional

Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika memberikan dampak bagi bangsa Indonesia, Bangsa Asia Afrika.

Pengaruh KAA bagi Bangsa Indonesia. Dengan adanya KAA Indonesia memperoleh keuntungan antara lain sebagai berikut.
  1. Ditandatanganinya persetujuan dwi kewarganegaraan antara Indonesia dan RRC (seseorang yang memegang dwi kewarganegaraan harus memilih salah satu dan yang tidak bisa memilih dapat mengikuti kewarganegaraan ayahnya). Dalam penandatangan ini RRC diwakili oleh Chou Enlai.
  2. Adanya dukungan yang diperoleh, yaitu berupa putusan KAA mengenai perjuangan merebut Irian Barat dalam forum PBB.

Sedangkan pengaruh KAA bagi negara-negara Asia Afrika adalah KAA berpengaruh besar terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia Afrika yang belum merdeka. Bangsa-bangsa Asia Afrika yang merdeka sesudah diadakannya KAA, antara lain: Maroko, Tunisia, dan Sudan (1956); Ghana (1957); Guyana (1958); Mauritania, Mali, Niger, Togo, Dahomei, Chad, Senegal, Pantai Gading, dan beberapa negara Afrika lainnya (1960).

Selain berpengaruh bagi bangsa-bangsa Asia Afrika KAA juga  berpengaruh terhadap dunia. Beberapa Pengaruh KAA bagi Dunia antara lains sebagai berikut.
  1. Berkurangnya ketegangan dunia.
  2. Amerika Serikat dan Australia mulai berusaha menghapuskan ras diskriminasi di negaranya.
  3. Munculnya organisasi Gerakan Nonblok (GNB) yang bertujuan meredakan perselisihan paham dari Blok Barat dan Blok Timur.
  4. Belanda mulai kebingungan menghadapi blok Afro-Asia di PBB.

Berikut ini makna penting KAA
  1. KAA merupakan cetusan semangat solidaritas dan kebangkitan negara-negara Asia Afrika dalam menggalang persatuan.
  2. KAA merupakan pendorong bagi perjuangan kemerdekaan bangsa Asia Afrika khususnya dan dunia pada umumnya.
  3. KAA ini memunculkan Gerakan Nonblok yang bersikap netral terhadap Blok Barat maupun Blok Timur.
  4. KAA membuka harapan baru bagi bangsa-bangsa yang belum merdeka dan yang sudah merdeka. Mereka merasa bahwa di belakangnya ada kekuatan yang akan membela dan membantu di saat mereka mendapatkan ancaman dari pihak lain.